Advertisement
![]() |
Foto Ilustrasi |
Di sebuah warung kopi sudut Pusuwuran, di antara gelas kopi hitam dan gorengan yang tinggal ampas, terdengar perdebatan panas antara Bang Etan dan Bang Unin.
“Pokoknya calonku yang paling bener!” tegas Bang Etan, sambil menepuk meja, hampir menumpahkan kopi yang belum dibayar.
“Lah itu mah kata kamu, calonku juga ada program! Masa kamu bilang dia gak bisa kerja?” balas Bang Unin, dengan nada tinggi, sambil memeluk gorengan terakhir seperti memeluk harapan masa depan.
Sementara itu, sang calon yang mereka ributkan lagi senyum manis di baliho ukuran 4x6 meter, entah di mana, mungkin sedang nyalonin juga di grup arisan ibu-ibu.
Pusuwuran kembali melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024. Katanya sih demi demokrasi yang bersih dan jujur. Tapi rakyatnya malah jadi korban debat kusir, pertarungan status WA, dan unfriend di Facebook hanya karena beda pilihan.
Hei, mari kita waras sejenak.
Mereka yang bertarung di kertas suara, ujung-ujungnya salaman, pelukan, dan mungkin ngopi bareng di hotel ber-AC yang banyak makanan. Kita yang nggak ikut nyalon, malah ribut soal siapa yang lebih cinta Pusuwuran, padahal besoknya ketemu lagi di pengajian, pura-pura lupa habis debat panas-panasan.
Lucu ya, kalau dipikir-pikir.
Calonnya damai, kita yang ngamuk.
Mereka dapat kursi kekuasaan, kita malah nggak dapet bangku pas tetangga nikahan.
Mereka dapat jabatan, kita malah musuhan.
PSU ini harusnya jadi momen untuk memperbaiki yang kemarin sempat ‘bocor’. Tapi jangan sampai otak dan silaturahmi juga ikut bocor gara-gara beda pilihan.
Ingat....! Pemilu itu lima tahun sekali. Tapi tetangga yang minjem garam itu bisa tiap hari. Jangan sampai demi lima menit di bilik suara, hubungan bertahun-tahun rusak hanya karena beda warna.
Mereka yang nyalon belum tentu inget kita, Tapi kawan-kawan satu tongkrongan? Itu yang dorong motor kita kalau bensin kehabisan.
Penulis: Putra Ramadhan (Pengurus AMSI Lampung)