KONKRIT NEWS
Senin, April 07, 2025, 20:39 WIB
Last Updated 2025-04-07T13:44:26Z
Lampungpesawaranpolitik

"Pilkada atau Ajang Cari Saudara Hilang?"

Advertisement
Gambar Ilustrasi 


Isu Putra Daerah dalam Pilkada Sebuah Kemunduran Demokrasi


Isu "putra daerah" kerap kali mencuat dalam setiap momentum pemilihan kepala daerah. Seolah-olah, garis keturunan dan tempat lahir menjadi syarat utama untuk memimpin. Padahal, pilkada bukan tentang silsilah, melainkan tentang kualitas, integritas, dan kapabilitas calon pemimpin. Mengangkat isu putra daerah sebagai syarat utama hanyalah bentuk sempitnya cara pandang dalam berdemokrasi.


Pemilu adalah wujud nyata dari demokrasi, di mana setiap warga negara yang memenuhi syarat dan tidak melanggar aturan berhak maju dan dipilih. Menolak seseorang hanya karena ia bukan "darah asli" daerah tersebut adalah bentuk diskriminasi yang terang-terangan. Padahal, justru dalam demokrasi, keterbukaan terhadap pilihan dan kompetisi sehat adalah nilai utama yang harus dijaga.


Pemilih yang cerdas bukanlah mereka yang memilih berdasarkan asal-usul semata, tetapi mereka yang mampu menilai siapa yang punya visi, gagasan, dan rekam jejak terbaik untuk memajukan daerah. Daerah tidak butuh pemimpin yang "asli", tetapi pemimpin yang "mampu".


Sudah saatnya kita meninggalkan politik identitas sempit dan mengedepankan rasionalitas dalam memilih. Karena daerah tidak akan maju hanya karena dipimpin oleh putra daerah, melainkan oleh mereka yang punya kemampuan dan kemauan kuat untuk membawa perubahan.


Putra Daerah, Putri Daerah, Lalu Apa Kabar Demokrasi?


Setiap musim pilkada datang, satu isu kuno yang tak pernah absen dari panggung politik lokal adalah: "Harus putra daerah!"

Entah kenapa, bagi sebagian orang, memilih pemimpin itu kayak nyari ketua arisan RT, harus satu kampung, satu marga, satu jalur tetangga. Yang penting lahir di tanah ini, walau belum tentu bisa bikin tanah ini jadi lebih baik.


Padahal pilkada itu urusannya bukan soal akta kelahiran, tapi soal akal dan kelayakan. Tapi lucunya, ada yang lebih rela dipimpin orang “asli daerah” yang gak bisa bedain RAPBD sama mie rebus, daripada orang “luar” yang paham masalah dan punya solusi.


Kalau memang syaratnya harus putra daerah, ya sekalian aja gitu syarat jadi bupati harus bisa nyebut nama semua tetangga waktu SD, tahu tempat nongkrong waktu SMA, dan bisa nyanyi lagu wajib daerah tanpa fals.

Masalah kapasitas, integritas, visi? Ah, itu bonus aja kali ya, bukan syarat utama.


Lucunya lagi, yang teriak soal putra daerah paling kencang seringkali bukan warga biasa, tapi elite lokal yang takut “orang luar” datang bawa standar baru: bersih, profesional, dan gak bisa diajak kongkalikong. Jadi sebenarnya siapa yang takut perubahan?


Mari waras sejenak, pemilih cerdas itu bukan yang memilih berdasarkan KTP, tapi berdasarkan kapasitas. Karena daerah bukan butuh pemimpin yang kenal tiap sudut kampung, tapi yang tahu cara bikin kampung itu berkembang.


Pilkada adalah pesta demokrasi, bukan reuni keluarga besar. Jadi stop romantisasi soal darah dan tanah, karena yang kita butuh sekarang adalah otak dan kerja nyata.



Penulis: Putra Ramadhan