Advertisement
![]() |
Gambar Ilustrasi |
Lampung, Senin 7 April 2025 — Ketika dompet makin tipis dan harga kebutuhan makin tebal, masyarakat Indonesia mulai melakukan aksi heroik terjun payung dari zona nyaman pekerjaan lama ke zona usaha kecil-kecilan. Tak heran kalau kini tetangga yang dulunya kerja kantoran, sekarang jadi reseller skincare atau jualan cilok online.
Kalau dulu orang naik pangkat, sekarang naik gerobak. Ekonomi masyarakat kini sedang mengalami pergeseran drastis, masyarakat berbondong-bondong ‘terjun payung’ dari pekerjaan formal ke dunia usaha kecil-menengah, dengan semangat tinggi dan saldo rekening yang, yah… menipis.
Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi strategi bertahan hidup. Ketika penghasilan yang biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, kini tak lagi sebanding dengan harga cabe rawit dan biaya parkir, banyak warga memilih untuk membuka usaha sendiri. Usaha yang dulunya dianggap “sampingan” kini jadi sandaran utama. Dari menjadi pedagang dadakan sampai jasa edit CV, semua dicoba. Yang penting halal dan cuan.
“Saya dulu staf HRD, sekarang jualan bakso aci di TikTok Live. Viewer saya lebih banyak daripada waktu ngasih training motivasi,” ujar Adelia (26), sambil menata ruang live di kamar sempitnya.
“Dulu saya kerja di bank, sekarang saya jualan donat kentang. Alhamdulillah, lebih adem kerja di dapur daripada dihantam deadline tiap hari,” ujar Bu Lilis, sambil mengaduk adonan dengan penuh harapan dan sedikit tepung di pipi.
Fenomena ini merajalela seperti mie instan di akhir bulan. Dari usaha kopi kekinian, thrift shop, sampai bisnis tanam cabai di polybag, semua dicoba. Yang penting cuan. Bahkan anak-anak muda sekarang lebih kenal kata “dropship” daripada “drops out.”
Meski banyak yang berhasil, tidak sedikit yang terpeleset saat mendarat. Minimnya modal, ketatnya persaingan, dan algoritma media sosial yang kadang lebih misterius dari takdir, menjadi tantangan tersendiri. Di sinilah pemerintah diminta hadir, bukan sekadar memberi webinar, tapi juga akses permodalan, pelatihan yang aplikatif, dan tentu saja, solusi terhadap harga sembako yang ngesot pelan tapi pasti.
“Pelatihan itu penting, tapi kalau setelah pelatihan cuma dapat sertifikat dan bukan pembeli, ya tetap aja saya jualan ke tetangga lagi,” keluh Bu Gito, mantan manajer logistik yang kini jualan lipstik.
Meski situasi menantang, masyarakat tetap menunjukkan sisi terbaiknya dari kreativitas dan selera humor. Mulai dari nama-nama usaha seperti “Ayam Geprek Tersakiti”, “Laundry Anti Galau”, hingga tagline “Diskon kalau mantanmu nikah,” menjadi bukti bahwa rakyat Indonesia bisa tetap ngelawak, meski dompet sedang teriak.
Pakar ekonomi semi-serius, Pak Arman, menyebut ini sebagai "strategi bertahan hidup ala sirkus": masyarakat loncat dari pekerjaan lama sambil berharap parasut rejeki terbuka sebelum nyungsep.
“Intinya, mereka nggak pasrah. Mereka kreatif. Kalau dulu jualan harus punya toko, sekarang cukup modal Media Sosial dan doa orang tua,” katanya, sambil menyeruput kopi sachet.
Jadi, kalau kamu merasa hidup makin pelik, mungkin saatnya ikut tren: pasang helm, kencangkan ikat pinggang, dan terjun payung ke dunia usaha. Siapa tahu, di bawah sana ada tempat mendarat yang penuh berkah.
Ekonomi rakyat Indonesia saat ini memang sedang “melayang-layang” di udara, tapi bukan tanpa arah. Justru di tengah krisis, terlihat jelas keberanian, kreativitas, dan kemauan untuk bangkit. Kalau parasutnya kuat, mendarat di cuan bukan cuma mimpi. Sebaliknya, kenyataan rasa manis, mungkin akan terasa pedas, jika parasutnya lemah dan terkoyak saat mendarat.
Penulis: Putra Ramadhan