Advertisement
![]() |
Penulis: Putra Ramadhan,S.H - Pengurus Asosiasi Media Siber (AMSI) Provinsi Lampung. |
Lampung, 19 Maret 2025 – Di era digital yang serba cepat, jurnalisme menghadapi tantangan besar prihal keseragaman berita. Meskipun ribuan berita diterbitkan setiap hari, banyak di antaranya memiliki isi yang serupa, seolah hanya berbeda dari segi media yang memberitakannya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: masihkah jurnalisme menjalankan fungsi kritisnya atau justru terjebak dalam algoritma digital yang mengejar klik semata?
Keseragaman ini bukan sekadar keluhan biasa di kalangan jurnalis. Dalam berbagai diskusi internal media, banyak wartawan mengungkapkan kegelisahan mereka. Namun, rutinitas redaksi yang padat sering kali membuat pembahasan tersebut hanya berlangsung sebentar sebelum kembali tenggelam dalam arus kerja harian.
*Ketergantungan pada Algoritma*
Di masa Orde Baru, keseragaman berita diciptakan oleh kontrol ketat pemerintah terhadap media. Kini, kendali itu justru dipegang oleh algoritma digital. Google dan platform media sosial menjadi penentu utama dalam membentuk arus informasi. Media yang ingin bertahan harus menyesuaikan diri dengan algoritma demi mengejar jumlah pembaca dan iklan digital.
Sekarang ini, media cenderung tidak lagi mengutamakan kedalaman informasi, tapi lebih ke arah seberapa viral berita tersebut.
Beberapa media yang masih dianggap kredibel sebelumnya pernah menyoroti bagaimana revolusi digital telah mengubah cara berita dikonsumsi. Peristiwa yang baru saja diberitakan bisa dengan cepat tenggelam, terlupakan dalam hitungan menit oleh derasnya arus informasi yang terus bergerak. Akibatnya, publik hanya mengingat informasi dalam waktu singkat, tanpa ada pembahasan mendalam yang memberikan pemahaman lebih luas.
*Turunnya Minat Membaca Berita*
Keseragaman dalam pemberitaan berimbas langsung pada menurunnya minat masyarakat dalam membaca berita. Banyak orang kini lebih nyaman scrolling media sosial atau bahkan lebih percaya pada informasi dari platform seperti TikTok, meskipun rawan hoaks.
Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa mayoritas pembaca hanya membaca judul berita tanpa mengklik untuk membaca lebih lanjut. Bahkan, jika pun tertarik, mereka hanya membaca paragraf pertama sebelum berpindah ke informasi lain.
Dulu kita bicara soal investigasi dan kedalaman berita. Sekarang, yang penting adalah judul yang menarik perhatian.
*Jurnalisme dan Apresiasi yang Menurun*
Selain berpengaruh pada pembaca, keseragaman berita juga berdampak pada bagaimana pemerintah dan pemangku kepentingan melihat jurnalisme. Apresiasi terhadap kerja jurnalistik semakin menurun. Profesionalisme dan nilai dalam sebuah pemberitaan kini sering kali kalah oleh kepentingan bisnis dan politik.
Banyak media lebih mengandalkan kedekatan personal dan lobi daripada kualitas jurnalistik itu sendiri. Ini ironis.
*Masa Depan Jurnalisme*
Jika kondisi ini terus berlanjut, masa depan jurnalisme independen bisa semakin terancam. Fungsi pers sebagai pilar demokrasi yang mengawasi kekuasaan bisa tergantikan oleh berita-berita dangkal yang hanya mengejar engagement di dunia maya.
Mampukah jurnalisme kembali ke jalurnya? Ataukah kita akan terus menyaksikan berita yang seragam tanpa kedalaman?
Pertanyaan ini kini menjadi tantangan besar bagi dunia pers di Indonesia.