Advertisement
Penulis : Wilson Kharismawan, Adelia Amanda Hidayat, Liza Indah Purnama dan Muhammad Alif Atasyah |
Lampung - Anak merupakan anugerah dari Tuhan yang harus dijaga dan dilindungi keberadaannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan yoptimal. Anak pada hakikatnya adalah generasi penerus bangsa sehingga harus dipersiapkan secara matang, baik dari segi pendidikan, kesehatan dan lain-lain agar menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berintegritas.
Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia pada saat ini masih terdapat banyak sekali anak-anak yang menjadi korban dari eksploitasi, diantaranya adalah eksploitasi secara ekonomi.
Eksploitasi ekonomi terhadap anak yang masih kerap terjadi dilatarbelakangi dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Indonesia yang menempati urutan ke empat sebagai penduduk terbanyak di dunia yaitu sebanyak 278.696.200 juta jiwa di tahun 2023, akan tetapi hal tersebut tidak diimbangi dengan jumlah pendapatan sebagian masyarakat Indonesia yang masih terbilang cukup rendah, serta adanya angka kelahiran yang berasal dari pasangan muda dampak dari adanya pergaulan bebas yang menyebabkan eksploitasi ekonomi sangat mungkin terjadi pada seorang anak.
Secara terminologi eksploitasi berasal dari kata aubsbeuten yang berarti pemanfaatan secara tidak adil demi kepentingan pribadi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eksploitasi adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, pengisapan, dan pemerasan. Secara umum, eksploitasi adalah suatu tindakan pemanfaatan terhadap suatu subjek secara berlebihan dan dengan sewenang-wenang yang menguntungkan kepentingan ekonomi diri sendiri tanpa adanya tanggung jawab.
Eksploitasi ekonomi merupakan suatu tindakan penyalahgunaan wewenang dengan cara memanfaatkan waktu dan tenaga anak-anak untuk bekerja guna memperoleh keuntungan materiil. Akibatnya anak menjadi terlantar dan tidak terpenuhi kebutuhannya baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dari hasil proyeksi penduduk interim 2020-2023, bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yaitu tahun 2021-2023, telah terjadi perubahan jumlah penduduk anak. Pada tahun 2021 jumlah penduduk anak yaitu sebesar 29,15%, pada tahun 2022 jumlah penduduk anak yaitu sebesar 28,82%, dan yang terakhir pada tahun 2023 yaitu terdapat jumlah penduduk anak sebesar 28,52%.
Adapun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, terdapat anak-anak yang hidup berada di bawah garis kemiskinan, diantaranya terdapat 4 provinsi di wilayah Indonesia Timur yang hidup di bawah garis kemiskinan tertinggi di Indonesia yaitu di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Berdasarkan keterangan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkapkan adanya kenaikan jumlah kasus eksploitasi anak berdasarkan data pada tahun 2019 sampai dengan tahun 2022, yang salah satu bentuk eksploitasinya adalah eksploitasi terhadap anak, hal tersebut menunjukkan perlu adanya tindakan dari pemerintah, pemerintah daerah, ataupun lembaga negara lainnya dalam membantu anak-anak tersebut agar keluar dari lingkaran kemiskinan, serta dibutuhkan adanya suatu aturan guna menjamin perlindungan hukum terhadap anak-anak agar terhindar dari tindakan eksploitasi.
Perlindungan hukum ialah upaya dalam melindungi hak asasi manusia agar tidak dilanggar oleh orang lain, sehingga semua lapisan masyarakat termasuk anak-anak dapat menikmati hak-haknya. Oleh karena itu terbitlah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diharapkan dapat menjadi payung hukum yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Meskipun di dalam Undang-Undang tersebut telah dijelaskan betapa pentingnya peran orang tua, keluarga, dan masyarakat dalam tumbuh kembang anak, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa keluarga dan masyarakat yang justru memicu kerentanan anak menjadi korban dari eksploitasi.
Dampak dari adanya eksploitasi ekonomi pada anak diantaranya sebagian besar anak-anak menjadi putus sekolah dikarenakan waktunya habis bekerja di jalanan dan tidak memiliki biaya untuk bersekolah karena seluruh uang yang mereka hasilkan dikuasai oleh pelaku eksploitasi anak itu sendiri. Kemudian dari segi keamanan, anak-anak seringkali menjadi sasaran tindakan kekerasan anak jalanan yang lebih dewasa, atau ada pula anak-anak yang menjadi korban penyalahgunaan zat adiktif dan obat-obatan terlarang seperti ngelem, minuman keras, dan lain sebagainya.
Kondisi ini sangatlah bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa tiap-tiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selain itu adapun hak untuk mendapatkan pendidikan yang juga tidak dirasakan oleh anak yang menjadi korban eksploitasi ekonomi, dimana hal tersebut bertentangan dengan salah satu cita-cita bangsa Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
Adapun faktor penyebab terjadinya eksploitasi ekonomi terhadap anak disebabkan oleh 3 hal yaitu, faktor ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. Faktor ekonomi adalah faktor utama penyebab terjadinya eksploitasi ekonomi terhadap anak-anak, hal tersebut dikarenakan penghasilan orang tua anak-anak tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, sehingga dampaknya anak-anak merekalah yang dijadikan sebagai alat untuk bekerja membantu orang tua mereka dalam mencari nafkah.
Eksploitasi ekonomi terhadap anak juga disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan orang tua anak-anak tersebut. Hal ini menyebabkan orang tua menjadi kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak dan adanya ketidaktahuan orang tua mengenai fungsi dan peran orang tua serta pemahaman mengenai hak-hak anak.
Faktor lain yang menjadi penyebab utama eksploitasi ekonomi yaitu faktor lingkungan terjadi karena kebanyakan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi ekonomi berasal dari tempat tinggal yang sama. Sebagai contoh, apabila sebagian besar jumlah anak-anak di suatu perkampungan telah menjadi korban dari praktik eksploitasi anak-anak secara ekonomi dan/atau seksual, maka hal tersebut menjadi landasan bagi masyarakat yang lain untuk memperlakukan hal yang sama terhadap anaknya.
Berdasarkan kondisi di atas, maka pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan yang dimaksud tersebut dijelaskan dalam ketentuan Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu dilakukan melalui beberapa upaya. Upaya yang pertama yaitu penanganan secara cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.
Upaya kedua, adanya pendampingan psikososial pada saat pengorbanan sampai pemulihan. Yang ketiga, pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Dan Upaya yang terakhir adalah pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Adapun perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu dilakukan melalui tiga cara, yakni pertama dengan cara penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, Kedua yaitu pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi. Dan yang terakhir adalah dengan cara pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi.
Berkaitan dengan ketentuan larangan yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 76I tentang melakukan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual dijelaskan bahwa, “setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak-anak”.
Ancaman pidana terkait dengan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak terdapat dalam ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi anak dari eksploitasi ekonomi dapat disimpulkan bahwa pemerintah beserta masyarakat dan aparat penegak hukum perlu bekerja sama dalam menegakkan hukum dan memberikan tindakan tegas kepada orang tua atau oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Hal ini sangat dibutuhkan karena perlu adanya bentuk penyelesaian dari fenomena eksploitasi ekonomi dan/atau kekerasan seksual terhadap anak-anak yang bekerja di jalanan yang tidak kunjung usai. Disamping itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga perlu memberikan sosialisasi dan pemahaman terhadap orang tua mengenai tanggung jawab orang tua terhadap anak serta larangan mengeksploitasi anak.
Oleh :
1. Wilson Kharismawan
2. Adelia Amanda Hidayat
3. Liza Indah Purnama
4. Muhammad Alif Atasyah
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung)