Advertisement
BANDARLAMPUNG---Disahkan 29 Oktober 2021, Undang-Undang Nomor 7/2021 tetang Harmonisasi Perpajakan disosialisasikan kepada karyawan PTPN VII, Kamis (16/12/21). Manajemen mengundang SAR bersama PT. Pajajaran Karya Mandiri sebagai konsultan pajak untuk membedah beberapa pasal krusial, terutama yang bersentuhan dengan pajak di PTPN VII.
Pelatihan dua hari ini dibuka Kabag Akuntansi dan Keuangan PTPN VII Mario Ellyando Zein di Kantor Direksi, Bandarlampung. Tiga pemateri dihadirkan untuk memberi pemahaman kepada 50-an karyawan yang hadir secara offline dari unit usaha dan bagian yang ada di kandir untuk mengikuti secara langsung dan puluhan karyawan lain dari unit kerja serta bagian diikuti secara virtual dengan memperhatikan protokol kesehatan
Pada sambutannya, Mario meminta seluruh peserta mengikuti dengan seksama mengingat ada banyak kebijakan baru dalam UU yang baru disahkan pemerintah tersebut. Menurut Mario, Undang-undang itu banyak mengatur kebijakan baru yang dinilai mengakomodasi aspek keadilan.
“Kita harus memahami setiap pasal beserta tafsir pastinya, termasuk angka-angka persentase yang berubah dari ketentuan undang-undang sebelumnya. Oleh karena itu, kita harus cermati dengan sangat detail agar pajak yang kita bayarkan kepada negara tepat secara peraturan dan tepat pula nilainya. Jangan sampai kita membayar sesuatu yang seharusnya tidak perlu,” kata dia.
Mario menambahkan, pihaknya sengaja mengagendakan pelatihan selama dua hari penuh agar peserta yang sehari-harinya bergelut dengan bidang keuangan, akuntansi, dan pajak benar-benar menguasai. Ia meminta pihak SAR dan Pajajaran Karya Mandiri untuk mempraktekkan atau simulasi teknik penghitungan pajak secara langsung kepada para peserta.
Sementara itu, Ketua SAR Consulting Syaiful Anas pada pengantarnya menyatakan update terhadap informasi terkini soal pajak sangat penting bagi pelaku usaha. Menurutnya, Pemerintah sangat dinamis dalam pengaturan pajak mengingat penerimaan negara dari sektor pajak sangat dibutuhkan. Namun demikian, pemerintah juga sangat mempertimbangkan pengenaan pajak yang disesuaikan dengan pendapatannya.
“Undang-Undang Harmonisasi Pajak yang diundangkan Oktober 2021 ini cukup banyak perubahannya. Oleh karena itu, kita sebagai wajib pajak harus tahu persis apa yang harus kita bayar dan apa yang seharusnya tidak perlu. Demikian juga dengan nilai atau persentasenya. Maka, setiap kita yang bergelut dengan keuangan dan pajak wajib memahami,” kata Syaiful yang juga menjadi konsultan pajak untuk PTPN Holding dan semua anak perusahaannya.
Ia menjelaskan, selama mendampingi PTPN Holding berkaitan dengan perpajakan, pihaknya telah merestitusi pajak PTPN Grup senilai Rp1,5 triliun. Dalam konteks ini, ia melihat ada potensi dana yang bisa digunakan untuk memperkuat cash flow cukup besar dari restitusi pajak di PTPN VII.
“Yang masih terjadi selama ini, kita masih terus membayar pajak untuk item-item tertentu dengan nilai persentase tertentu, padahal sebenarnya itu tidak perlu atau nilainya tidak sebesar itu. Memang, kita membayar pajak pada akhirnya juga masuk ke kas negara yang nota bene PTPN VII juga perusahaan negara, tetapi cash flow perusahaan diutamakan. Sebab, perusahaan yang sehat butuh cash flow yang sehat juga,” kata dia.
Pada sesi pertama pelatihan, Jaka Nirmaya yang merupakan Asisten Manager SAR memaparkan beberapa perubahan yang fundamental pada UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Pajak. Menurut dia, Undang-undang tersebut adalah upaya Pemerintah meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dengan penerapan yang berkeadilan.
“Dalam tinjauan kami, setidaknya ada enam item yang mengalami perubahan. Yakni, KUP (Ketentuan Umum Perpajakan), PPh, PPN, tax amnesty, cukai, dan kargo. Item-item ini sangat penting untuk diketahui karena ada yang terkait dengan urusan PTPN VII,” kata dia.
Dari ketentuan umum, Undang-undang ini menfungsikan Nomor Induk Kependudukan (NIK; nomor KTP) sebagai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Dari pasal NIK menjadi NPWP ini, kata Jaka, khalayak harus mendapat penjelasan detail tentang prasyarat dan segala polemiknya.
Demikian juga dengan beberapa item tentang natura, fasilitas yang diperoleh seseorang berupa perumahan, kendaraan, kebutuhan hidup, dan lainnya, menurut Jaka akan dikenakan pajak. Namun, ada pengecualian jika natura itu diberikan untuk daerah terbatas.
“Seperti PTPN VII ini kan banyak fasilitas natura yang diperoleh karyawan. Ini akan dikenakan pajak. Tetapi, jika natura itu pada daerah terpencil seperti perumahan karyawan di tengah kebun, itu bisa dapat pengecualian. Oleh karena itu, kita harus tahu mana yang wajib dibayar dan apa yang sebenarnya tidak perlu,” kata konsultan pajak pada Pajajaran Karya Mandiri ini. (Rls/KN)