KONKRIT NEWS
Selasa, Oktober 12, 2021, 16:12 WIB
Last Updated 2021-10-12T09:12:41Z
Sumatera Selatan

Antrean Pekerja PTPN VII Bentayan Di Toko Pasundan

Advertisement

 


BANYUASIN---Antrean pekerja PTPN VII Unit Bentayan di Toko Pasundan setiap awal bulan setelah gajian memang tinggal nostalgia. Namun, Sadi (36), anak ke delapan dari Abah Sadar, pemilik toko yang menjajakan sembako itu masih mengingatnya sebagai periode terpenting peran PTPN VII untuk kehidupan warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Banyuasin, Sumsel.

Sadi yang kini melanjutkan usaha orang tuanya. Namun, ia tak lagi menjadi toko sembako seperti rintisan usaha orang tuanya. Tetapi beralih berniaga aneka busana muslim dengan nama Emma Hijab. Ia juga mendapat pinjaman dana kemitraan dari PTPN VII untuk menjaga usahanya agar terus menjadi pintu rezeki keluarga kecilnya.

“Terus terang, bagi keluarga saya, nama PTPN VII itu sangat melekat. Dulu, Abah sama Emak saya pertama kali masuk desa ini tahun 1997 buka toko sembako saat bukaan PTPN VII. Setiap abis gajian PTP (PTPN VII), orang antre mau bayar bon. Jadi, hidup kami sangat tergantung sama keberadaan PTPN VII,” kata pria Sunda yang fasih beberapa bahasa daerah setempat ini.

Simbiosis mutualis yang terjadi antara PTPN VII Unit Bentayan dengan warga desa sekitar kini menjadi catatan sejarah. Kisah seperti perjalanan ekonomi keluarga Abah Sadar, orang tua Sadi, begitu banyak. Kepala Desa Sidomulyo, Sudarman mengatakan, dia tidak bisa membayangkan kehidupan masyarakat transmigrasi seperti Sidomulyo, Keluang, Bentayan, dan lainnya jika PTPN VII tidak membuka kebun di situ.

“Desa ini, termasuk beberapa desa sekitar ini kan dulunya transmigrasi umum dari beberapa daerah di Jawa. Beberapa tahun di sini, kehidupan kami sangat sulit karena belum terbiasa bertani palawija di daerah begini. Banyak yang nggak tahan dan pulang,” kata Kades ramah ini.

Kedatangan PTPN VII buka lahan untuk kelapa sawit sekitar tahun 1995 menjadi penolong bagi hampir semua penduduk desa. Di tengah kesulitan mencari makan karena tanaman padi, jadung, dan palawija sulit berhasil, PTPN VII membuka lapangan kerja untuk berbagai pekerjaan.

Setiap hari, penduduk desa bergegas menuju lahan PTPN VII. Ada yang menjadi buruh di pembibitan, mengolah lahan, dan pekerjaan apa saja. Mereka mendapat upah yang kemudian menjadi penghasilan pendamping sekaligus penyelamat program transmigrasi di wilayah itu.

Abah Sadar dengan Toko Sembakonya adalah salah seorang yang jeli mengintip peluang. Pria asal Pandegelang, Jawa Barat yang sebelumnya adalah peserta trans di Desa Karangagung Ulu, agak jauh dari lokasi, mendekatkan diri. Ia membuka kios di Pasar Lama dengan memberi kesempatan kepada pekerja yang bekerja di PTPN VII untuk bon alias utang ke tokonya.

“Nah, Abah Sadar, orang tuanya Sadi ini dulu beruntung sekali. Dia buka toko sembako, boleh diutang pekerja PTPN VII, setiap gajian baru bayar. Selain Abah Sadar, banyak juga yang lain yang bertumbuh bersama keberadaan PTPN VII di Bentayan ini,” cerita Sudarman.

Kini zaman sudah berubah. Abah Sadar memang sudah tiada. Tetapi Sadi dan anak-anak penerus generasi tua yang mencatatkan namanya sebagai mitra nonformal PTPN VII masih terus mengingatnya sebagai jariah perusahaan BUMN ini.

Saat ini, Sadi bersama beberapa rekan pelaku usaha kecil di Desa Sidomulyo masih terus menjalin hubungan baik dengan PTPN VII. Untuk mendukung usaha para pelaku usaha kecil, pada 2020 PTPN VII menyalurkan dana kemitraan sebesar Rp60 juta kepada tujuh orang. Mereka berusaha dalam berbagai bidang. Ada toko busana muslim, toko sembako, bengkel, ternak, dan pedagang keliling.

Ari, salah satu penerima dana pinjaman kemitraan yang membuka toko sembako mengaku sangat terkesan dengan keberadaan PTPN VII di Bentayan. Ia mengaku mendapat pinjaman Rp20 juta dari PTPN VII. Tokonya berada di jalur jalan utama terlihat cukup megah pada bangunan dua unit ruko dua lantai. Dagangannya juga penuh dan terlihat lengkap.

“Sebenarnya, kalau mau ngomong nilai pinjaman dari PTPN VII memang tidak seberapa. Tetapi, bagi kami PTPN VII adalah penolong keluarga kami. Kalau nggak ada PTP (PTPN VII), nggak tahu kami seperti apa. Tetapi, alhamdulillah sekarang desa kami sudah seperti ini,” kata Ari sambil menunjukkan berbagai kemajuan desanya.

Kondisi yang disampaikan Ari tidak berlebihan. Sebab, masyarakat desa-desa di seputaran PTPN VII Unit Bentayan saat ini sudah menemukan pintu rezeki sehingga jauh lebih mandiri dan sejahtera dari masa awal.

Komoditas perkebunan, yakni karet dan kelapa sawit saat ini menjadi mata pencaharian utama warga. Kedatangan PTPN VII Unit Bentayan menanam kelapa sawit menjadi model bagi warga untuk ikut mengadu peruntungan dengan komoditas ini. Orang-orang yang pernah ikut kerja membuka lahan dan berbudi daya kelapa sawit membawa pulang ilmunya untuk mengganti tanaman palawija yang tak kunjung menghasilkan.

Hal yang mirip dilakukan dengan komoditas karet yang di PTPN VII menjadi andalan utama. Warga sekitar juga menanam karet dan cenderung meninggalkan tanaman pangan.

“Di sini sekarang hampir semua orang punya kebun karet atau sawit. Jadi, bukannya sombong, kalau secara ekonomi saat ini sudah cukup mapan dan jauh lebih baik dari sebelum PTPN VII masuk. Tetapi, kami tidak lupa dengan PTPN VII,” kata Ari.

Sebagai gambaran umum, Sadi dan Ari yang juga aktif mengurus Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Desa Sidomulyo, mengaku mengelola dana hampir Rp1 miliar untuk diputar. Setiap bulan, kata Sadi yang menjadi ketua Bumdes, setidaknya ada transaksi rata-rata Rp100 juta.

“Jadi, kalau perkiraan saya, uang beredar di Desa ini setiap bulannya lebih dari Rp10 miliar. Yang paling besar itu dari perdagangan karet dan sawit. Apalagi sekarang harga karet cukup tinggi, bisa Rp12 ribuan. Artinya, daya beli masyarakat cukup lumayan,” tambah Sadi.

Tentang pinjaman dari PTPN VII, Sadi mengaku sangat membantu usahanya. Meskipun relatif kecil, tetapi dari niatnya membantu usaha kecil sangat terlihat. Ia mengatakan, pinjaman dari PTPN VII hanya ada jasa administrasi 0,25 persen per bulan.

“Enaknya pinjaman PTPN VII itu simpel. Dapat Rp7 juta ya utuh Rp7 juta dengan jasa administrasi 0,25 persen. Ada tenggang waktu tiga bulan lagi untuk mulai cicilan. Kalau KUR, bunganya 0,31 persen, ada potongan administrasi notaris, terus satu cicilan harus mengendap nggak bisa dicairin,” kata Sadi.

Kepada PTPN VII, Sadi berdoa agar PTPN VII Unit Bentayan kembali bertumbuh dan berjaya lagi. (Rls/KN)