Advertisement
LAMPUNG -- Berdasarkan hasil penelitian UNESCO tahun 2020 menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat memprihatinkan, yakni hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1000 orang Indonesia hanya satu orang yang rajin membaca.
Demikian hal nya dengan minat baca mahasiswa Indonesia masih rendah dibanding dengan Negara tetangga seperti Malaysia, Singapore dan Thailand.
Aktifitas para pelajar dan mahasiswa untuk memanfaatkan perpustakaan yang ada di sekolah dan di kampus termasuk di Pondok Pesantren masih sangat kurang.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) provinsi Lampung, Gunawan Handoko, saat menjadi narasumber pada acara Pelatihan Manajemen Perpustakaan Pondok Pesantren di Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, kemarin Kamis, (25/03).
Namun demikian menurut Gunawan Handoko, kesalahan tidak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada mahasiswa.
Rendahnya minat baca para mahasiswa tidak terlepas dari sistem pendidikan yang diterapkan di jenjang pendidikan sebelumnya, yakni sejak tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
"Sistem pembelajaran di Indonesia selama ini belum membuat siswa merasa harus membaca buku lebih banyak dari apa yang disiapkan di sekolah," ungkap Gunawan Handoko seraya menambahkan bahwa selama ini buku pelajaran untuk para siswa sudah ditentukan oleh pihak sekolah, mulai dari judul, pengarang dan penerbitnya.
Akibatnya para siswa maupun orang tua tidak merasa perlu lagi mencari informasi tambahan atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan di sekolah.
Hal lain menurut pakdhe, panggilan akrab Gunawan Handoko, dorongan dari para guru agar para siswa membaca buku secara rutin juga sangat kurang.
Sementara perpustakaan sekolah yang seharusnya menjadi tempat bagi para siswa untuk mencari bahan bacaan tambahan, justru keberadaannya sangat kurang menarik.
Selain jumlah bukunya yang terbatas, suasana ruangan yang ada juga kurang mendukung.
"Rendahnya minat baca para siswa ini ternyata berlanjut sampai di tingkat Perguruan Tinggi," ujarnya seraya mengajak untuk melihat data kunjungan yang ada di perpustakaan.
Berapa banyak jumlah mahasiswa yang berkunjung setiap harinya, lalu bandingkan dengan jumlah seluruh mahasiswa yang ada di kampus tersebut.
Perpustakaan baru terlihat ramai di saat menjelang ujian karena banyak mahasiswa mencari sumber referensi dari buku ataupun untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen.
Di hari-hari biasa, sebagian mahasiswa lebih banyak menggunakan teknologi internet dibandingkan dengan membaca buku.
Padahal faktanya membaca buku atau literatur sumber referensi justru sangat penting bagi mahasiswa.
Tanpa sadar, mahasiswa sekarang pada umumnya lebih banyak diperalat oleh teknologi.
Untuk itu dirinya mengajak para mahasiswa dari prodi S1 Perpustakaan dan Informasi dan pustakawan dari Pondok Pesantren yang mengikuti acara pelatihan agar memahami tentang literasi secara utuh dan benar serta mengelola perpustakaan secara profesional.
”Ilmu pengetahuan yang berkembang secara cepat tidak mungkin lagi dapat dikuasai melalui proses mendengar atau transisi dari seseorang. Hampir 90 persen pengetahuan berasal dari membaca," ujarnya.
Secara khusus, Gunawan Handoko memberi apresiasi terhadap kehadiran peserta pelatihan dari kalangan Pondok Pesantren.
Menurutnya pembudayaan gemar membaca perlu digalakkan di semua elemen masyarakat dan lembaga pendidikan, termasuk lembaga Pondok Pesantren melalui berbagai cara dan strategi dengan disesuaikan kurikulum yang ada.
Maka sangatlah tepat jika Pondok Pesantren melakukan gerakan literasi melalui pemberdayaan perpustakaan yang di kelola secara professional agar dapat melayani peserta didik pada pendidikan kesetaraan yang dilaksanakan dilingkungan pendidikan Pondok Pesantren tersebut.
Pada acara yang sama para peserta juga mendapatkan materi tentang manajemen pengelolaan Perpustakaan yang disampaikan oleh pustakawan madya dari Universitas Lampung, Sumarno.
Menurutnya, didalam manajemen perpustakaan terdapat beberapa fungsi yang harus dijalankan, antara lain perencanaan yang merupakan titik awal kegiatan perpustakaan yang harus di susun dengan baik.
Perencanaan ini sangat berguna untuk memberikan arah dan menjadi standar kerja dan menjadi kerangka pemersatu serta membantu memperkirakan peluang.
Pada prinsipnya, menurut Sumarno, pengolahan bahan perpustakaan terdapat empat tahapan kegiatan pokok dalam mengolah bahan perpustakaan, yakni inventarisasi, klasifikasi, katalogisasi dan shelving.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengolahan bahan perpustakaan dengan baik untuk mempermudah para pemustaka yang akan menggunakan bahan perpustakaan tersebut dan cepat ditemukan informasinya.
"Secara umum perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, kelestarian, informasi dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa, tanpa harus dibedakan dimana perpustakaan tersebut berdiri, termasuk perpustakaan khusus yang ada di pondok pesantren," ungkap Sumarno.
Dalam kata pengantarnya Ketua Prodi S1 Perpustakaan dan Informasi, Eni Amaliah, M.Ag, mengatakan bahwa acara pelatihan manajemen perpustakaan ini sangat penting bagi para calon pustakawan untuk mewujudkan perpustakaan yang prepresentatif melalui pengelolaan yang baik dan professional.
(Rls/KN)