Advertisement
Oleh: Krisnady Kesumadiksa
Tahun 2020 merupakan tahun yang sangat berat untuk semua orang yang ada di dunia, dikarenakan menyebarnya Corona Virus Disease (Covid-19) sejak akhir tahun 2019 silam. Seluruh masyarakat internasional, termasuk WHO pun telah mengeluarkan himbauan kepada setiap negara di dunia untuk menerapkan protokol kesehatan serta menjamin kesehatan dan kebersihan terhadap warga negara maupun penduduk yang tinggal di wilayahnya, dalam keadaan apapun. Hal ini juga mencakup perlakuan yang sama terhadap tahanan penduduk yang ditahan pada kondisi konflik bersenjata, sebagai contohnya konflik bersenjata antara Palestina dan Israel yang telah berlangsung sejak 1948 hingga saat ini.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, pendudukan yang dilakukan otoritas Israel terhadap Palestina sudah berlangsung selama, lebih tepatnya, 73 tahun lamanya. Pendudukan ini dimulai dengan banyaknya agresi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa terhadap wilayah Palestina pada awal abad ke-20 yang saat itu dikuasai oleh Turki Utsmani. Agresi ini dilakukan dengan memberikan jaminan terhadap negara-negara islam yang dikuasai oleh Turki Utsmani untuk merdeka dan membebaskan diri dari kekuasaan Turki Utsmani.
Agresi ini berhasil dan membuat negara-negara islam terpecah belah, yang mana keadaan ini memudahkan Israel untuk merebut tanah Palestina yang mereka yakini sebagai hak mereka. Sejak saat itu, dimulailah pendudukan Israel terhadap Palestina secara tidak manusiawi, dengan menghalangi penduduk Palestina dalam beribadah, membangun “dinding apartheid” untuk mengusir penduduk Palestina, melakukan pengeboman di wilayah-wilayah yang ditinggali oleh penduduk Palestina, serta tindakan tidak manusiawi lainnya.
Pada saat ini, tercatat pada tahun 2020 kemarin, otoritas Israel telah menahan 4.600 orang penduduk Palestina di kamp konsentrasi mereka di Kota Megiddo. Dilaporkan lebih dari 200 orang tahanan penduduk Palestina terpapar Covid-19 yang berasal dari kalangan tahanan lainnya. Walaupun Israel selalu mencanangkan program pemberantasan Covid-19 secara besar-besaran dari negaranya dengan daya dukung dari hubungannya dengan produsen vaksin Pfizer, sebagaimana yang disampaikan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, namun ternyata Israel masih mendapat kecaman dari masyarakat internasional karena kelalaiannya dengan tidak mengikutsertakan para tahanan penduduk Palestina untuk mendapatkan akses terhadap vaksin tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan harian yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) per tanggal 6 Januari 2021, bahwa terdapat lebih dari 162.000 kasus penularan Covid-19 di wilayah pendudukan Israel dengan 1.663 jumlah korban jiwa.
Tentu hal ini sangat bertentangan dengan pernyataan yang telah disampaikan oleh Perdana Menteri Israel dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku. Bahkan, Menteri Keamanan Publik Israel Amir Ohana memberikan arahan untuk tidak memberikan vaksin Covid-19 kepada tahanan penduduk Palestina, dan hanya memberikannya kepada petugas kamp konsentrasi disana, menutup kamp tersebut, dan membiarkan tahanan penduduk Palestina dalam keadaan tidak mendapat layanan kesehatan sama sekali. Bahkan, alat-alat medis sederhana yang dibutuhkan untuk mencegah penyebaran Covid-19, seperti masker dan hand sanitizer, tidak disediakan oleh pihak Israel.
Lalu bagaimanakah hal ini jika dikaji menurut aturan hukum internasional?
Dalam Pasal 91 & 92 Konvensi Jenewa IV 1949 tentang Perlindungan Penduduk Sipil di Masa Perang, diatur mengenai kewajiban otoritas pendudukan untuk memberikan fasilitas kesehatan yang layak di lingkungan penahanan, yang dalam hal ini, kamp konsentrasi. Fasilitas ini diperuntukan agar tenaga kerja di kamp konsentrasi tersebut dapat melakukan tugasnya secara optimal untuk melakukan tindakan khusus, operasi, penanganan pertama pada kecelakaan, serta tindakan lain yang diperlukan dalam dunia kesehatan. Dalam ketentuan ini juga, para tahanan tidak boleh dihalangi haknya untuk mendapatkan pemeriksaan rutin minimal 1 bulan sekali dan pengobatan yang layak terhadap sebuah penyakit. Ketentuan ini juga mengatur bahwa jika terjadi keadaan medis yang mendesak, seperti melahirkan, ia berhak untuk mendapat rujukan ke fasilitas yang memadai tanpa diskriminasi.
Pada intinya, ketentuan ini menjamin 100% bahwa kesehatan tahanan merupakan hal yang harus tetap dijaga oleh pihak pendudukan, yang dalam hal ini, Israel. Dengan demikian, apakah Israel telah melanggar aturan hukum internasional tersebut?
Dalam kejadian saat ini, kamp konsentrasi yang ada di Israel tidak memiliki fasilitas kesehatan. Setiap tahanan yang mengidap penyakit apapun dibiarkan begitu saja di kamp konsentrasi tanpa mendapat layanan kesehatan yang layak. Hal ini diperparah dengan tidak diperbolehkannya tahanan penduduk Palestina untuk dirujuk ke fasilitas rumah sakit yang memadai diluar kamp konsentrasi. Para tahanan ini pun tidak mendapat pemeriksaan rutin sebagaimana yang dianjurkan, dan tidak menyediakan fasilitas untuk menangani keadaan kesehatan darurat. Mereka juga diperlakukan dengan tidak adil, dengan tidak diberikan vaksin Covid-19 terhadap mereka, dan tidak dilakukannya pengkarantinaan terhadap tahanan yang terpapar Covid-19.
Dengan uraian tersebut, sudah jelas bahwa Israel telah melanggar aturan hukum internasional untuk menjamin kesehatan tahanannya di kamp konsentrasi, khususnya pada masa pandemik Covid-19. Seharusnya, sebagai pihak pendudukan atas wilayah Palestina, Israel harus menjamin adanya perlakuan yang layak terhadap tahanan penduduk Palestina. Hal ini juga harusnya dapat menjadi pemecut bagi masyarakat internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, untuk mengeluarkan resolusi yang mengakhiri pendudukan Palestina oleh Israel, dan memperjuangkan hak-hak warga negara Palestina. Ketika seluruh masyarakat internasional bersatu padu untuk memperjuangkannya, maka kebebasan rakyat Palestina bukanlah lagi sebuah mimpi, melainkan rencana yang dapat menjadi kenyataan.