Advertisement
Pesisir Barat, (Lampung) - Sejak munculnya wabah pandemi Covid-19, kebanyakan tamu hotel dan villa di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, tidak lagi didominasi peselancar mancanegara alias bule. Para tamu kini berganti dengan orang-orang luar Lampung yang mengaku sebagai 'bos benur'.
Penelusuran tim media sepanjang Oktober hingga November 2020, para tamu yang mengaku dari Jakarta lalu lalang ke Pesisir Barat mencari benur. Aneka 'kepala raksasa' di Jakarta sana pun disebutkan untuk meyakinkan bahwa benur yang akan dibeli bakal lolos sepanjang perjalanan Krui-Bandar Lampung, hingga lolos pemeriksaan di Pelabuhan Bakauheni Lampung Selatan.
Dugaan seringnya pengiriman benur lobster dan lobster ilegal lolos di Pelabuhan Bakauheni, membuat para 'bos benur' makin lancar berbisnis. Mereka umumnya mengaku bisa mengatur aparat, sehingga para pengepul pun punya nyali memberi order ke nelayan untuk menangkap benur lobster.
Masih berdasarkan penelusuran tim media, di Pesisir Barat setidaknya ada enam titik pengepul yakni Krui, Tanjung Setia, Way Jambu, Marang, Siging, dan Bengkunat. Semua diduga dipegang aparat, aparatur sipil negara, hingga pengurus partai.
Meskipun menabrak Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp), nyatanya bisnis itu tetap aman hingga kini. Menurut catatan tim media, terakhir penangkapan benur ilegal di Lampung, diungkap Polda Lampung pada 11 Juli 2019 dengan menyita 366.650 ekor benur lobster dan menahan 18 pelaku di Bandar Lampung.
Meskipun menggiurkan, ternyata nelayan tidak serta merta menikmati bisnis ilegal ini. Kepada tim media, seorang pembina nelayan yang namanya diminta dirahasiakan mengatakan bahwa nelayan sesungguhnya tak menikmatinya.
"Pedagang dan pengepul yang menikmatinya. Rantai perdagangannya juga makin panjang, dan tak ada kepastian berapa sebenarnya harga jual benur," kata dia, di Krui, akhir Oktober 2020 lalu.
Pembina yang memiliki lebih dari 200 nelayan ini mencontohkan, saat harga benur lobster di tingkat nelayan Rp6.000/ekor, di tingkat pengepul pertama harganya menjadi Rp6.500 hingga Rp7.000/ekor. Kemudian, di pengepul berikutnya menjadi Rp8.000/ekor, hingga naik menjadi Rp13 ribu/ekor di tingkat perusahaan yang kemudian menjualnya ke Jakarta.
"Kadang harga benur lobster cuma Rp1.000 per ekor, bahkan tak ada yang mau beli. Padahal nelayan sudah menangkapnya. Ketidakpastian ini karena perdagannya ilegal, sehingga harga tak menentu. Pembeliannya seperti kucing-kucingan, dikemas tak standar dan tak pemeriksaan Karantina Ikan, sehingga kita tahu mutunya seperti apa," ucapnya.
Sebagai pembina nelayan turun temurun dari kakeknya, dia mengaku prihatin karena kualitas benur lobster asal Pesisir Barat yang dikenal super kini dipertaruhkan menjadi kualitas asalan. Oleh karena itu, dia berharap agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) segera mengeluarkan izin tangkap kepada nelayan. "Tanpa izin tangkap itu, selamanya ini bisnis ilegal," kata dia.
Selain itu, dirinya juga berharap agar perusahaan yang beroperasi di Lampung juga ditertibkan. Hingga kini, perusahaan yang datang ke Lampung umumnya bukan berdomisili di Lampung dan hanya tertarik membeli benur lobster.
"Mereka tak peduli dengan pembinaan nelayan. Seharusnya perusahaan yang diberi izin ini membina nelayan dengan memberi jaminan harga," tegasnya.
Penangkapan benur lobster ilegal di Pesisir Barat hingga kini masih berlangsung. Apalagi, selama Oktober hingga Maret dikenal sebagai musim panen benur lobster. "Musim benur lobster mulai berlangsung sejak Oktober lalu, namun izin tangkap belum ada. Seharusnya ini diantisipasi sejak awal, agar nelayan punya kepastian," pungkasnya. (Rls/KN)