Advertisement
Bandar Lampung - Aktivis HMI Cab. Bandar Lampung, Riza Rahmayadi mengatakan bahwa Sejak reformasi 20 Mei 1998, Indonesia seolah-olah memasuki babak baru dalam dunia perpolitikan. Dunia yang menjanjikan proses demokratisasi selalu menampilkan wajah ganda di depan publik.
Pada sisi lain, ia dengan lantang berani menjanjikan ke arah yang lebih baik dari arah sebelumnya. Namun, terkadang pada sisi lain itu, di balik topengnya, ia memanfaatkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Begitu pula dengan potret perubahan atmosfer ekonomi politik kita pekan hari-hari ini membawa kondisi yang agak buruk dikarenakan demokrasi dibawah bayang oligarki. Intrik politik pilkada sudah semakin dekat dan mengisi ruang publik sebagai ajang pertarungan retorik & emosional para kompetitor dengan cukong bertarung dalam melanggengkan investasi materi diarena diskursus demokrasi kita hari ini.
Pilkada serentak, 9 Desember 2020 akan digelar di 270 daerah pemilihan, dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Atmosfer istrik politik pilkada sudah semakin dekat semakin mengisi ruang publik dengan permainan retorik & emosional para kompetitor diarena diskursus demokratisasi kita hari-hari ini. Pilkada serentak ini merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 UU Pemilu diberlakukan.
Seiring perjalanan waktu, Pilkada langsung sebagai anak kandung reformasi belum memperlihat kualiatas demokrasi, harapan masyarakat pada umumnya kualitas demokrasi melahirkan pemimpin daerah berintegritas dan bermartabat. Pilkada justru melahirkan pemimpin daerah yang terperangkap dalam elite cupture corruption. Penguasa daerah yang lahir dari proses demokrasi persekongkolan para elit partai dengan para cukong. Sejatinya Pilkada menjadi arena membangun demokrasi justru bergeser menjadi arena transaksional para elite politik dengan aktor bisnis.
Kontestasi Pilkada belakangan ini tidak lebih sebagai arena pasar gelap yang mempertemukan kepentingan aktor politik dan para cukong. Oleh karena itu, dapat dipahami bila penguasa daerah yang terpilih lebih mengabdi kepada para cukong politik daripada mengabdi kepada rakyat. Inilah paradoks demokrasi, demokrasi yang dikendalikan para cukong ( oligarki )
Menurut Winters Secara konseptual, istilah Oligarki telah lama dikenal dalam studi politik. Istilah ini merentang dari jaman Yunani Kuno hingga era kontemporer sekarang. Dalam International Encyclopedia of Social Sciences, Oligarki didefinisikan sebagai “Bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan minoritas kecil”. Istilah tersebut diambil dari bahasa Yunani, “Oligarchia, yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, terdiri atas kata oligoi (sedikit), dan arkhein memerintah.
Pilkada mahal menjadi kesempatan para cukong, khususnya partai politik membangun politik transaksional, saling mempertukan sumber daya kekuasaan (power exchance Resouces) dan memperdagangkan pengaruh kekuasaan (power trading influence). Akibatnya, Pilkada sekadar melahirkan penguasa yang tersandera para oligarki yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Feodalisme dan oligarki kekuaaan tidak terhindarkan.
Studi mengenai relasi bisnis dan politik menjadi perhatian dan kajian menarik di kalangan ilmuwan 6 seiring perkembangan dinamika ekonomi dan politik. Sejumlah karya akademik atau penelitian telah memperlihatkan bahwa pada setiap fase kekuasaan, keterlibatan kelompok bisnis (baca: Cukong) tidak terpisahkan dan berusaha mereposisi diri masuk ke dalam jaringan kekuasaan. Bahkan, Menko Polhukam Mahfud MD dalam Webinar dengan pusat studi Pusako FH Universitas Andalas, Padang mengungkapkan 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong.
Akibatnya, ketika terpilih muncullah korupsi kebijakan. Sebuah modus korupsi yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang, atau sumber daya kekayaan alam yang lain menjadi masalah yang kian marak belakangan ini.
Meskipun kebebasan berdemokrasi telah dirasakan oleh rakyat yang tidak pernah terbayangkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Selama Orde Baru berkuasa telah memberangus kebebasan berdemokrasi dan hak-hak politik warga. kontestasi demokrasi. Investasi politik ini sangat mudah dipahami bahwa perilaku itu salah satu bentuk peternakan kekuasaan.
Akibatnya hanya orang-orang yang memiliki kuasa modal saja yang bisa melamar partai politik. Ini fakta telanjang dalam realitas politik saat. Suatu realitas terstruktur di alam demokratisasi, yang diwarnai permainan politik uang dan pesekongkolan. Politik uang dan persekongkolan menjadi lingkaran setan dalam kegamangan berdemokrasi.
Dominasi praktik politik uang dalam kontestasi elektoral tidak terlepas dari sistem politik dan perilaku partai politik, telah memberikan ruang bagi hadirnya para petualang politik dan pemilik modal sebagai cokung atau political broker di tengah pragmatisme demokrasi.
Persekongkolan di antara para aktor di tingkat lokal yang sama-sama berwatak oligarki-predator telah menjadikan desentralisasi sebagai arena pergulatan memperebutkan sumber daya lokal untuk kepentingan ekonomi dan politik. Para aktor yang menguasai pengelolaan sumber daya ekonomi daerah seperti pengelolaan sumber daya alam telah memposisikan diri sebagai oligarki predator di tingkat lokal.
Bertolak dari pemikiran di atas maka dapat dipahami jika pada kenyataannya negara kerap bersikap mengabaikan terhadap kepentingan masyarakat karena fungsi negara tidak lebih hanya sebagai instrumen dari dominasi kelas, yaitu para pemilik modal.
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) rentan terjadi untuk melakukan kick back dan perburuan rente ekonomi bagi penguasa. Sejumlah penguasa daerah yang terpapar kasus korupsi sesungguhnya berkaitan erat dengan proses demokrasi. Proses demokrasi yang dikendalikan para oligarki telah menggunakan kuasa kapital untuk membajak demokrasi.
Pada sisi lain, partai politik seharusnya menjadi sarana demokrasi justru menjadi kartel layaknya perusahaan. Kartelisasi partai politik telah memandulkan demokrasi, demokrasi menopause. Para calon kepala daerah tentu saja akan berhitung ulang bila mau melamar partai politik sebagai kendaraan politik.
Dalam perspektif pemerintahan (kybernologi, Ndraha, 2002 ), pengelolaan subkultur kekuasaan tampaknya jauh dari tiga prinsip utama, yaitu berkuasa semudah mungkin, menjalankan seefektif mungkin, dan mempertanggungjawabkan seformal mungkin.
Praktek sistem politik kita memperlihatkan bahwa pola sirkulasi kekuasaan dari satu rezim ke rezim selanjutnya tidaklah mudah dan teramat mahal. Jalan panjang yang mesti dilewati oleh setiap paslon secara logika memungkinkan mereka menghimpun modal demi mencapai puncak kekuasaan. Itu bukan sepenuhnya kesalahan mereka, tapi lebih karena pilihan mekanisme dalam sistem demokrasi yang tak rasional.
Demokrasi liberal semacam itu membutuhkan jumlah, bukan isi. Akibatnya banyak paslon terpilih karena jumlah kepala, bukan isi kepala. Jumlah kepala penting sebagai dasar legitimasi, tetapi isi kepala pun tak kalah pentingnya sebagai kompas yang akan membawa daerah sejauh menuju kesejahteraan masyarakat. Realitas ini mengingatkan kita pada ajaran guru filosof Socrates (399 M), jangan paksakan demokrasi langsung pada masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah, sebab yang akan terpilih bukan mereka yang kompeten, tetapi mereka yang populer dan bermodal besar.
Menihilkan money politic dalam pesta demokrasi adalah hal mustahil, baik lewat mekanisme langsung maupun tak langsung. Bila dideteksi, laju perjalanan uang panas itu mengalir deras pada dua segmen utama, kalau tidak pada sekelompok elit parpol dalam bentuk gelondongan, tentu berpencar ke khalayak ramai yang didatangi bak penerima bantuan panti asuhan. Artinya, mau langsung atau tidak, tetap saja penyakit kronis money politic itu hampir mendarah-daging bagi masyarakat tuna integrity. Mengingat imajinasi saya tentang Narasi Francis Fukuyama, penulis buku fenomenalThe EndofHistory andthe Last Man, kembali dengan karya terbarunya yang mengusung isu politik identitas.
Menurutnya,setiap individu memiliki dorongan untuk dihormati dan diakui. Hasrat manusia akan pengakuan yang berakar kuat telah menjadi penyebab tirani, konflik, dan perang. Buku ini juga menunjukkan bagaimana pengakuan universal dalam konsep demokrasi liberal ditantang oleh bentuk pengakuan yang lebih sempit (berdasarkan atas bangsa, agama, sekte, ras, etnis, atau gender) yang telah mengakibatkan populisme anti-imigran, kebangkitan Islam yang terpolitisasi, serta fraksi-fraksi yang terpecah belah. Sebut saja gelombang Musim Semi Arab, Kampanye “Make America Great Again” Donald Trump, hingga Gerakan yang memperluas pemahaman populer tentang kekerasan seksual.
Pertanyaan yang lebih realistis dalam konteks ini adalah mekanisme manakah yang lebih mudah dikontrol, efisien, efektif, rendah kerumunan, kebal epidemi, serta tak mudah menodai integritas moral masyarakat. Bahwa ia tetap berpotensi dihadiri cukong tentu tak dapat dihindari, sebab kita sedang memilih pemimpin di setiap wilayah yang memang rentan ambisi kuasa dan uang, bukan manusia seperti malaikat. Dalam peristiwa pilkada yang terlibat bukan saja cukong, juga birokrat opurtunistik dan politisi kelas lokal.
Semua perubahan mekanisme itu sekaligus menjadi sistem anti apidemi, menurunkan political cost paslon, mengurangi konflik, mengefisienkan APBD, serta menihilkan berbagai keperluan yang tidak perlu dan mengkuatirkan, termasuk menjauhkan moral masyarakat dari infeksi epidemi korupsi.
Pertanyaan yang paling sulit dijawab dari pesta demokrasi cokong ini adalah; rakyat dapat apa dari seremoni demokrasi cukong lewat pilkada serentak 2020 ini? Pancasila yang digembor-gemborkan itu tak lebih slogan hampa tanpa makna.
Semestinya, pemilu sebagai akronim pemilihan umum diselenggarakan sebagai pesta demokrasi yang menjunjung tinggi dan memperjuangkan hak-hak rakyat secara tertib, jujur, rahasia, damai dan beradab. Bukan konsepsi nalar dan perilaku para elit politik dan cukong untuk merampas hak-hak rakyat. Jangan sampai pemilu sebagai pesta demokrasi menjadi malapetaka penuh memilukan rakyat.
Konsepsi, nalar dan perilaku politik kita dicaplok dari kapitalisme-liberal yang katanya tidak sesuai pancasila itu. Sudah Semestinya Negara tidak boleh kalah melawan cukong. Sayang sekali, negara rela menampar dirinya sendiri. Terus Negara bisa apa?
"Jangan Berharap Oligarki & elit itu akan berhenti sendiri, namun harus dibatasi rakyat melalui masyarakat Civil Socety lebih aktif, terlibat memberikan edukasi politik dan lebih matang. Menurut Jeffry A Winters dalam buku Oligarki beliau berpendapat bahwa didalam kehidupan masyarakat terdapat akademisi dan mahasiswa yang dapat membawa ide perubahan dalam sistem demokrasi kita di Indonesia," paparnya.
Dia menilai bahwa posisi strategis mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya harus mementingkan kepentingan rakyat kecil jangan hanya mengurui kepentingan kampus belaka.
"Semoga narasi sederhana ini membuka paradigma aktivis melenial untuk memberikan subangsi edukasi politik, ekonomi serta sosial budaya terhadap masyarakat akar rumput untuk menemalisir dampak dari demokrasi dibawah bayang-bayang oligarki ekstraktif saat ini kita di Indonesia," ucap Riza.
Dia menilai bahwa posisi strategis mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya harus mementingkan kepentingan rakyat kecil jangan hanya mengurui kepentingan kampus belaka". Semoga narasi sederhana ini membuka paradigma aktivis melenial untuk memberikan subangsi edukasi politik, ekonomi serta sosial budaya terhadap masyarakat akar rumput untuk menemalisir dampak dari demokrasi dibawah bayang-bayang oligarki ekstraktif saat ini. (rls/KN)