Advertisement
Aktivis Kajian Budaya, Glamora Lionda |
Opini, Oleh; Glamora Lionda - Hajatan demokrasi terbesar berupa Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif sudah di depan mata. Namun, penggunaan isu bernuansa politik identitas yang bersifat negatif masih menjadi momok.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA bahkan memperlihatkan angka penurunan jumlah publik yang mendukung Pancasila. Di sisi lain ada peningkatan jumlah masyarakat yang menginginkan Indonesia berdasarkan NKRI bersyariah (Pro-NKRI bersyariah).
Politik identitas kerap kali diartikan sebagai politik yang mengedepankan relasi emosional seraya merendahkan pertimbangan rasional. Sehingga pilihan yang diambil lebih karena bersifat dorongan primordial yang kurang mengedepankan pilihan karena pertimbangan kemanfaatan umum.
Pilihan yang berdasarkan identitas dilakukan karena relasi ras, etnis, kedaerahan, dan juga karena kesamaan keyakinan agama. Asumsinya bukan karena pertimbangan kemaslahatan umum.
Fenomena ini semakin nampak jelas terlihat setahun terakhir. Terlihat dari riuhnya pemberitaan deklarasi dukungan berbagai organisasi dengan latarbelakang kelas, suku dan agama terhadap salah satu poro fs politik.
Munculnya fenomena tersebut, tentu menimbulkan pertanyaan di benak kita. Apa motif pendeklarasian tersebut? Deklarasi dari berbagai ormas berlatar belakang SARA itu jelas menunjukkan adanya interest group di dalam ruang politik kita.
Secara definisi, interest group atau kelompok kepentingan diartikan oleh Joseph Barker dan Ralph Losco sebagai "virtually any voluntary association that seeks to publicly promote and create advantages for its cause. It applies to a vast array of diverse organizations. This includes corporations, charitable organizations, civil rights groups, neighborhood associations, professional and trade associations".
Kelompok kepentingan bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu “kepentingan” dengan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai didalamnya atau instansi yang berwenang maupun menteri yang berwenang.
Di Indonesia, pada kenyataannya masing-masing kelompok kepentingan yang biasanya tidak dapat mempertahankan eksistensinya . Contohnya kelompok kepentingan anomic, kelompok kepentingan tersebut akan selalu ada seiring dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Hanya ada dua kemungkinan dari hadirnya kelompok kepentingan anomic tersebut. Menolak sebuah kebijakanatau isu politik yang terjadi atau mengawal dan mendukung kebijakan dan isu politik tersebut.
Menilik pada gejala sosial hari ini, kesimpulannya adalah kelompok siapa dan kepentingan apa yang akan memenangkan kursi kekuasaan akan kita lihat setelah Pilpres nanti. Wallahualam.