Advertisement
![]() |
Husni Mubarok
Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HmI Cabang Bandar Lampung
|
Bandar Lampung - Ideologis merupakan salah satu komitmen utama Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) dalam beraktifitas, dengan memaknai Al-qur'an dan Sunnah bukan sebagai ritual khusus belaka namun lebih dari pada itu merupakan landasan perjuangan serta petunjuk dalam berfikir. Ideologis selalu berpijak pada pemahaman tentang kebenaran suatu tujuan itulah mengapa Cak Nur perlu bekerja keras menciptakan Nilai Identitas Kader (Nik) yang hari ini di kenal dengan Nilai Nilai Dasar Perjuangan (NDP). NDP adalah landasan ideologis perjuangan HmI dan juga sebagai Ruh yang mendorong moral pergerakan kader. tentu diharapkan setiap kader pemahaman terhadap NDPeis dapat menumbuhkan kepercayaan diri akan keyakinan ilahiyah, membangun semangat humanisme dalam interaksi dengan sesama manusia dan sebagai sumber nilai moral yang mengiringi ilmu pengetahuan untuk di abdi-kan bagi manusia dan organisasinya. Namun implementasi dari pada konsep ideologis tersebut kini semakin hari semakin terkikis dari identitas kader himpunan mahasiswa islam (HmI), Bisa jadi persoalan ini karena tidak efektifnya pada penanaman awal pelatihan, bisa juga Para pengurus HmI yang memiliki domain terhadap regulasi perkaderan dalam upaya menanamkan pondasi awal pelatihan formal himpunan mahasiswa islam telah melupakan agenda memperkokoh perkaderan dan pembinaan anggota, sehingga proses ideologisasi dengan semangat Kontinuitas tidak bisa kita lihat dari kepribadian kebanyakan kader, bahkan mungkin kebanyakan kader tidak mampu mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena memang mereka tidak memahami ideologis itu sendiri jadi wajar jika semangat berorganisasi kader HMI semakin tergerus seiring berjalan waktu. Beberapa contoh yang bisa kita ambil adalah banyak kader HMI lebih nyaman nongkrong dan tertawa riang dikantin atau di KF, KFC, sibuk membincangkan kancah perpolitikan, lobisasi kepentingan, semua berlandaskan pragmatisme. Akhir akhir ini terasa aneh dan asing dimata kader HMI jika melaksanakan kajian tekstual maupun kontekstual untuk kepentingan masyarakat umum lainnya, kita ketahui bahwa salah satu visi ideologis HMI adalah mengangkat harkat dan martabat kaum mustad afin, bukan memperjuangkan elit-elit politik yang pada akhirnya akan meminabobokan masyarakat pada umumnya.
*Realitas Keaktivisan yang Mulai Bergeser*
Realitas keaktivisan kini bergeser ke arah yang lebih elit, ke arah kota andai saja elit dengan sedikit arif, sayangnya tidak. Nongkrong di berbagai kafe dengan biaya ngopi yang tidak murah, snack dan menu jajan yang juga tidak murah. Berpenampilan dengan baju bermerek, handphone bermerek, tak lupa, paket data internet yang terbilang mahal.
Aktivis hari ini tak ada yang benar-benar siap diasingkan, terancam dan melepas kemapanan dirinya—apalagi berani mati. Ber-handphone mahal, sepatu keren, baju kekinian, menu makanan yang mewah dan tak lupa perempuan cantik yang dijadikan istri haramnya adalah identitas keaktivisan yang paling kekinian. Tak dapat dipungkiri, inilah sisi mahal pada diri aktivis detik ini.
Jika aktivis era dahulu memilih sederhana seperti orang kampung, maka aktivis hari ini memilih mencari biaya hidupnya seperti orang kota. Jika aktivis era dahulu memilih melepas nafsu kemewahannya dan memilih lapar demi menjaga idealismenya, tapi aktivis hari ini justru kebaikannya memilih menunaikan nafsu kemewahannya dan memilih kenyang dengan menggadaikan idealismenya.
Tan Malaka menyebut idealisme sebagai kekayaan terakhir seorang aktivis karena ingin mengungkapkan, apabila idealisme hilang, maka hilanglah semuanya, termasuk harga dirinya. Saat idealisme tergadaikan, maka tergadaikanlah semuanya, termasuk kebenaran di tangannya, dan idealisme yang tergadaikan tak akan pernah bisa ditebus ulang.
setiap masa ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada masanya, “Likulli marhalatin mutaqallabatuha, likulli marhalatin muqtadhayyatuha, wa likulli marhalatin rijaluha.” (Setiap masa ada tuntutannya, setiap masa ada konsekuensinya, dan setiap masa ada pelaku sejarahnya).
Untuk dapat relevan di setiap masa, setiap kita harus menpunyai narasi yang kokoh dan nilai. Bukan sekedar nilai, tetapi nilai plus. Karya yang senantiasa terupdate dengan zamannya. Para followers tanpa narasi dan nilai, ia akan terlunta-lunta dengan perubahan masa.
Tuntutan dan konsekuensi setiap masa harus dipenuhi dengan sempurna. Gagal memenuhinya, berarti gagal menjadi pelaku sejarah di masanya. Mengerjakan agenda di masa kini tidak relevan dikerjakan dengan cara di masa lalu. Dan semua yang di masa lalu menjadi bahan penyempurnaan untuk masa kini dan yang akan datang.
Zaman boleh berubah, periode boleh berganti. Namun, pastikan setiap kita selalu relevan di setiap tempat dan masa. Dan bukan golongan orang-orang yang tertinggal.
Kancah intlektualisme yang di didengungkan Nurcholis Majid akan terasa hampa soal bergesernya kultur ditubuh HMI itu sendiri. Apabila harus menyebut salah seorang tokoh pembaru Islam di Indonesia yang begitu artikulatif, demonstratif, impresif dan inspiratif bagi banyak orang, mungkin sangat beralasan mengatakan Cak Nur-lah orangnya, panggilan akrab Nurcholish Madjid. Dan jika mesti menunjuk sosok intelektual yang paling fenomenal sekaligus kontroversial dalam ide-idenya bagi sebagian orang, maka Cak Nur pula figur yang tepat. Gagasan-gagasan yang digulirkannya begitu enlightening and provoking the thoughts, sehingga dia amat dipuja dan diidolakan oleh kebanyakan anak muda di satu sisi, namun seringkali pemikiran-pemikirannya itu pula yang mengundang polemik dan hujatan dari orang-orang yang tidak menyetujuinya di sisi lain.
Saya nikmati sedikit dari karya-karya Cak Nur itu. Ketika membaca karya-karya tersebut, saya merasakan sekali dibukakan ke dalam wawasan yang begitu luas dan kaya perspektif. Dengan menelusuri noktah-noktah pemikiran Cak Nur, kita bukan hanya diajak bertamasya dengan kekayaan khazanah pemikiran Islam baik klasik maupun kontemporer, tapi juga bergumul dengan wacana-wacana tentang budaya, pendidikan, sejarah, sosial dan politik, serta berbagai persoalan lainnya.
Cak Nur sangat fasih berbicara mengenai berbagai persoalan dengan bobot analisis yang bersifat ilmiah-akademik. Kita diajak berkenalan dengan berbagai sumber referensi primer tentang pemikiran Islam, tafsir, sejarah, sosiologi, pendidikan, budaya, politik, dan lain-lain. Bagi Cak Nur, semesta kebajikan yang terdapat dalam Islam harus membawa nilai guna bukan hanya untuk umat Islam dan kaum muslim, tapi juga berguna bagi seluruh putra-putri bangsa Indonesia. Dalam konteks Indonesia, spirit inklusivisme Islam yang disuarakan Cak Nur, dengan agak simplifikasi dapat diformulasikan begini: Kebajikan Islam bukan hanya bersifat rahmatan lil muslimin wal mukminin, tapi juga rahmatan lil Indonesiyin wal ‘alamin.
Dari mana aktivis kekinian dapat membiayai nafsu kemewahan dirinya itu? Menjadi budak politisi, berafiliasi dengan mafia, berkompromi dengan pihak yang berkepentingan adalah jalan paling mungkin untuk sampai pada kemewahan itu.
Dimana posisi HMI sebagai organ perkaderan?
Dimana posisi HMI sebagai organ pejuang kaum mustad afin?
Dimana posisi kader HMI yang konon ceritanya sebagai negosiator yang ulung bergerak dengan ideologis HMI.
Masih ada rasakah, hidupkah, atau hanya sekedar simpati bukan empati terhadap ideologis HMI itu.! Seharusnya perkaderan dan pengkaderan menjadi hal yang urgen yang harus diperhatikan guna mencetak manusia-manusia yang memiliki derajat yang mulia dan manusia-manusia yang unggul sebagai kereator di lingkungan masyarakat maupun negara nantinya.
Oleh: Husni Mubarok
Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HmI Cabang Bandar Lampung.