KONKRIT NEWS
Selasa, Februari 27, 2018, 20:14 WIB
Last Updated 2018-02-27T13:14:47Z
Daerah

SGC Langgar Tata Ruang, BPN Harus Ukur Ulang

Advertisement

BANDARLAMPUNG -- Tiga dosen Universitas Lampung, Dedi Hermawan, Yusdianto Alam, Darmawan Purba menggelar seminar launching buku yang bertemakan " Konflik Lahan Perkebunan" mengungkap perlawanan rakyat melawan koorporasi tanah atas Hak Guna Usaha (HGU) PT Sugar Grup Companies untuk diukur ulang oleh BPN (SGC) di Gedung A Fisip Unila, Selasa (27/2).

Dedi Hermawan, salah satu penulis buku konflik lahan perkebunan mengatakan bahwa Berdasarkan Undang –Undang (UU)  1945 pasal 33 ayat 3 menjelaskan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Artinya bahwa apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.  Selain itu  dalam Pasal 1 ayat (3) UUPA disebutkan  bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) adalah hubungan yang bersifat abadi,” kata Dedi, Senin (27/2). 

“ Sehingga hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya. Oleh karena itu sumber daya alam harus dijaga dan jangan sampai dirusak atau ditelantarkan,” ungkapnya.

Oleh karena itu, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta terselenggaranya perlindungan hukum bagi rakyat.

“ Terutama bagi golongan petani dengan tetap mempertahankan kelestarian, kemampuan dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan,” ujarnya.

Secara umum, konflik agraria dimulai dari keluarnya surat keputusan pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan (sekarang Kemen LHK), Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kepala BPN (sekarang Kemen ATR/BPN), gubernur, dan bupati, yang memberikan izin atau hak pada badan usaha atau instansi pemerintah/swasta tertentu untuk menguasai suatu bidang lahan yang di atasnya terdapat hak atas tanah/lahan atau akses masyarakat lokal atas sumber daya alam yang sebagian besar ada di wilayah pedesaan. 

“Belum adanya keberanian pejabat publik bekerjasama dengan pihak perusahaan dan aparat keamanan untuk mengeksekusi tanah rakyat, sumber daya alam, dan wilayah yang dikelolanya. Terkesan, selama ini kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terasa inkonsisten, cenderung menguntungkan pengusaha, ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain dan peraturan yang tumpang tindih,” ujarnya.

Sementara itu, Yusdianto menyampaikan bahwa penanganan masalah tanah yang kurang serius dan bijaksana oleh pemerintah, dapat berakibat fatal dan terkadang menjurus kearah yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat.

“Adanya ketimpangan penguasaan tanah yang tidak seimbang khususnya pada tanah perkebunan sementara rakyat dihadapkan dengan keterdesakan atas kebutuhan kehidupan akhirnya memicu terjadinya pendudukan tanah perkebunan dimana Hak Guna Usaha (HGU) belum berakhir oleh masyarakat tanpa seijin pemegang hak atas tanah,” ungkapnya.

Sebagaimana teriakan masyarakat di Kawasan HGU Perkebunan Sugar Group Companies yang berada di Kabupaten Tulang Bawang dan Kabupaten Lampung Tengah menganggap pembebasan lahan dilaksanakan dengan pendekatan rezim kekuasaan, pengawalan oleh aparat keamanan Negara dan melanggar rencana tata ruang wilayah serta melenyapkan wilayah konservasi dengan merampas hak ulayat masyarakat.

“ Hal itu tentu menambah ketidak-adilan dan merugikan rakyat setempat. Dari penelusuran penulis, masyarakat telah memperjuangkan haknya melalui pintu eksekutif (pemerintah), legislative dan peradilan. Namun apa yang terjadi semuanya belum membuahkan hasil yang memuaskan masyarakat,” ucapnya.

Dari hasil penelusuran yang dilakukan, ada beberapa data yang diperoleh dari konflik perkebunan tersebut berdasarkan pengakuan dari Rukhyat Kusumayuda, mantan Tenaga Ahli Pemerintah Provinsi Lampung Bidang Pemerintahan Hukum dan Pertanahan menyampaikan sesuai tugas yang diemban melaksanakan pembebasan tanah untuk perkebunan tebu dan pabrik gula PT. Sweet Indo Lampung (sekarang telah menjadi Sugar Group Companies) terdiri dari 4 PT sesuai dengan izin lokasi ±134.000 ha termasuk ±28.000 Ha tanah hutan kawasan Register 47.

“Penolakan kelompok masyarakat adat yang dipelopori oleh A. SYUKRI ISA dengan mengatasnamakan Forum Komunikasi Komunitas Masyarakat Hukum Adat Gedung Meneng Dan Teladas Kecamatan Gedung Meneng, Kabupaten Tulang Bawang atas koptasi lahan oleh Sugar Grooup Campanies yang dilakukan oleh anak peruhaan PT. Sweet Indo Lampung (SIL), PT. Indo Lampung Perkasa (ILP), PT. Indo Lampung Cahaya Makmur (ILCM).” Dan tuntutan pelanggaran penerbitan Sertifikat Hak Guna Usaha atas Tanah Ulayat dan Tanah KHP Way Terusan Register 47 Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung yang diambil paksa oleh Sugar Group Companies melalui anak perusahaan PT. Garuda Panca Artha dan PT. Mulia Kasih Sejati (MKS),” ungkapnya.

Dilain sisi Darmawan Purba menjelaskan bahwa Perjuangan masyarakat yang dikuasakan kepada Muhammad Adam  dengan gelar Suttan Pemimpin Suttan yang bertindak selaku kuasa untuk dan atas nama Masyarakat Adat Kampung Mataram Ilir Kecamatan Seputih Surabaya Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung menyampaikan bahwa masyarakat adat memiliki sebidang tanah adat/hak ulayat, yang belum terdaftar seluas lebih kurang 822 hektar yang dikenal dengan Umbul Bunuk Minyak dan Umbul Sungai Sari, yang terletak di tepi Way Terusan Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah. 

“Hasil pansus Lahan SGC DPRD Tulang Bawang diketahui adanya dugaan pelanggaran tataruang di Kabupaten Tulang Bawang, pelanggaran terhadap lahan perlindungan/ konservasi lahan basah Rawa Bakung yang masuk ke dalam wilayah HGU yang ditelantarkan, dan terindikasi tumpang-tindih penguasaan lahan,” ungkapnya.

Adanya konflik yang telah bertahun-tahun inilah, yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penyusunan buku yang berangkat dari perjuangan masyarakat. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengungkapkan fenomena historis dari permasalahan sengketa tanah yang seolah-olah tidak pernah terselesaikan.

Sehingga menghasilkan suatu kebijakan yang berguna untuk penataan kembali struktur penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah. secara umum agar tujuan dari adanya investasi perkebunan khususnya tebu dapat mendatangkan kesejahteraan baik bagi masyarakat setempat dan mengatasi ketimpangan sosial dimasyarakat.

“Kegunaan penulisan ini dari segi  teoritis penulisan diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran dan melengkapi data-data serta memperkaya bahan-bahan penelitian yang sudah ada terkait perjuangan rakyat khususnya koptasi lahan melalui izin HGU Perkebunan. Manfaat dari segi praktis dari penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dalam hal pengambilan kebijakan oleh pihak legilasti dan eksekutif.  Penelitian ini menggunakan metode pendekatan socio-legal. Melalui peelusuran gugatan masyarakat di sekitar Sugar Group Companies (SGC), rangkaian kegiatan dimulai dengan pengumpulan data, pengumpulan, dokumentasi dan verifikasidata dan pengelohan data,” pungkasnya. (*)