Advertisement
Lampung - Sikap tegas yang diambil Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat DPP Golkar Nomor R-485/GOLKAR/X/2017 tertanggal 24 Oktober 2017, menjadi angin segar bagi kader Patai Golkar, setidaknya di Provinsi Jawa Barat.
Surat yang dikeluarkan oleh Ketua Umum sebelumnya, Setya Novanto bersama Sekretaris Jenderal Idrus Marham itu isinya menyatakan Ridwan Kamil (RK) sebagai calon gubernur Jawa Barat yang diusung Golkar pada Pilgub 2018 mendatang.
Silang sengkarut yang intinya berupa penolakan atas penetapan RK sebagai calon gubernur Golkar menghiasi media massa. Banyak kader Golkar di Jawa Barat yang melakukan unjuk perasaan atas sikap DPP Partai Golkar ketika itu.
Munculnya surat pencabutan atas surat Nomor R-485/GOLKAR/X/2017 setidaknya menunjukkan keseriusan Airlangga untuk membuat Golkar menjadi lebih bersih dan lebih baik. Sebuah langkah yang banyak mendapat acungan jempol dari kader partai.
Ditengah mepetnya waktu unutk membalikkan citra Partai Golkar kepengurusan Airlangga akan berakhir pada tahun 2019, sementara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden juga akan dilaksanakan pada tahun 2019, menjadikan momen Pilkada Gubernur, Bupati, Walikota di tahun 2018 mendatang, memiliki arti penting.
Langkah membenahi calon-calon gubernur, bupati, walikota untuk Pilkada 2018, tentu saja menjadi batu loncatan bagi Airlangga untuk mencapai cita-cita yang diusungnya melalui Partai Golkar pada Pileg, Pilpres 2019. Artinya, setiap pencalonan kepala daerah yang diusung Partai Golkar, harus bebas dari masalah internal partai. Mengusung calon kepala daerah yang bermasalah di internal partai, sama artinya menciptakan hambatan kesuksesan pada Pileg dan Pilpres 2019.
Langkah strategis dan politis untuk Jawa Barat sudah selesai. Kini beberapa daerah masih perlu dibenahi. Seorang Airlangga, tentu saja selama ini tidak menguasai secara persis atas masalah-masalah yang terjadi di daerah. Kehati-hatian dalam mengumpulkan data dan kenyataan, tentu perlu dikedepankan. Apalagi, jajaran kepengurusan di DPP Partai Golkar yang dipimpinnya, hingga tulisan ini dibuat Pun belum berubah. Dan masalah-masalah internal yang muncul sebelumnya merupakan buah prilaku dan kebijakan kepengurusan yang kini dipimpin Airlangga.
Sebut saja di Provinsi Lampung. Walau secara akumulasi vote untuk kepentingan Pilpres tidak signifikan, jumlah pemilihnya dibawah 9 juta, tapi pergolakan yang terjadi di Lampung, imbasnya cukup menjadi gangguan bagi eksistensi Partai Golkar.
Sejak awal, sebelum penetapan Arinal Djunaidi menjadi Ketua DPD I Partai Golkar Lampung, konflik di internal partai sudah berlangsung. Dibalik duduknya Arinal mengambil alih kursi yang sebelumnya diduduki Alzier Dianis Tabrani sebagai Ketua DPD I Golkar Lampung hanya bisa tercipta karena kebijakan yang dilakukan Setya Novanto, Ketua Umum yang digantikan Airlangga. Tentu saja Setnov tidak sendirian menjadikan Arinal.
Peristiwa memberikan kursi Ketua DPD I Golkar Lampung kepada Arinal Djunaidi secara terang benderang diketahui publik. Bahkan ketika itu, sebelum musdalub dilakukan, Alzier memboyong persoalan “pemenggalan” kursinya ke Mahkamah Partai Golkar.
Tentu saja Lodewijk Freidrich Paulus bersama Aryadi Ahmad yang ditunjukkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD I Golkar Lampung, sebelum Alzier di Musdalubkan, sangat paham dan mengetahui seluruh cerita lengkap dan apa yang menjadi missi keduanya yang ditugaskan oleh Setya Novanto.
Sebelum Arinal berhasil terpilih menjadi Ketua DPD I Partai Golkar Lampung, kalangan internal Golkar Lampung terus bergejolak. Intinya melakukan penolakan atas Arinal Djunaidi. Alasan yang dikemukakan sangat kuat. Arinal tidak memenuhi syarat-syarat menjadi Ketua DPD I Partai Golkar Lampung. Arinal baru beberapa bulan pensiun dari pegawai negeri sipil. Belum pernah menjadi pengurus partai. Tapi, lagi-lagi persyaratan yang tertuang dalam Juklak partai, diberangus oleh kebijakan khusus yang dimililki Ketua Umum, Setya Novanto.
Penolakan terhadap “pesanan” Setya Novanto menjadikan Arinal sebagai Ketua, terjadi empat hari sebelum Musdalub digelar, 15 DPD II Partai Golkar Lampung bersepakat menjadikan Aziz Syamsudin sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Lampung. Lagi-lagi kebulatan tekad ini dimentahkan Setya Novanto.
Usai Musdalub digelar, Arinal terpilih sebagai Ketua Formatur untuk menyusun kepengurusan bersama formatur terpilih lainnya. Lagi-lagi masalah muncul, hasil rapat formatur yang menentukan sususan pengurus DPD I Partai Golkar Lampung mengalami pemberangusan. SK pengesahan yang dikeluarkan DPP Partai Golkar jauh menyimpang dari hasil Rapat Formatur.
Masalah terus bertambah. Gejolak kader kian menggeliat. Puncaknya terjadi ketika penetapan calon gubernur yang akan diusung Partai Golkar Lampung. Dimana Arinal Djunaidi bersama beberpa nama diusulkan menjadi calon gubernur dari Partai Golkar. Proses pengusulan ini digugat banyak kader dan pengurus Golkar Lampung karena melanggar Juklak 06.
Lagi-lagi masalah ini dibawa ke Mahkamah Partai dan persidangan sudah memasuki tahap pemeriksaan. Mediasi ditolak oleh penggugat. Bahkan, para pengggugat melayangkan gugatan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Ditengah situasi konflik yang demikian dan belum selesai, tiba-tiba beredar sebuah surat Nomor R 590/Golkar/XII/2017 tertanggal 28 Desember 2017 dengan dua versi, satu ada cap partai dan satu tanpa cap yang isinya sama, tentang penetapan Arinal Djunaidi dan Chusnunia sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Lampung yang diusung Partai Golkar. Surat ini ditandatangani Arilangga Hartarto dan Idrus Marham.
Banyak kader partai bertanya-tanya tentang kesaktian Arinal Djunaidi di Partai Golkar. Padahal sebagai orang titipan, bukan kader. Berbagai pengakuan dan pemberitaan media massa, berhasil mengungkapkan tanda tanya tadi. Diduga Arinal Djunaid "orang titipan" pemilik pabrik gula, Sugar Group Companies (SGC). Setidaknya bisa diduga kalimat yang meluncur dari pengakuan Hermawan Kartajaya praktisi marketing, ketika menghadirkan Arinal Djunaidi bersama kalangan pengusaha di Hotel Novotel Bandar Lampung, beberapa waktu lalu.
Publik lelah dan cenderung mual menyaksikan akrobatik menyedihkan tentang Partai Golkar selama dua tahun terakhir ini. Partai Golkar terus menerus lebih banyak membuat kisah kelam di laman koran, media sosial dan layar-layar kaca televisi, ketimbang menorehkan prestasi.
Pembatalan SK Ridwan Kamil merupakan langkah awal untuk mengembalikan citra Partai Golkar di Jawa Barat. Namun, apakah bagi Airlangga Hartarto mengembalikan citra Partai Golkar di Provinsi Lampung menjadi tak penting?. (Yusuf/KN)