Advertisement
Bandar Lampung - “Kita harus bergerak untuk menahan
keruntuhan peradaban ini. Kitalah barisan. Kitalah garda yang harus
terus berjuang untuk membela Republik dari dekadensi moral para
politisinya,” kata Surya Paloh kepada Willy Aditya suatu waktu.
Percakapan itulah yang melatari Willy menyusun buku
"Moralitas Republikan", ia menilai ilmu pengetahuan budaya (scientific
culture) dalam sebuah perubahan merupakan sebuah kebutuhan untuk
dijadikan sebuah kultur dan cara berpolitik pada masa saat ini dan masa
yang akan datang.
Pada kenyataannya, lanjut Willy, moralitas republikan
adalah sosok yang bukan mengedepankan posisi kekuasaan untuk memimpin
akan tetapi orang yang siap dipimpin orang lain meskipun dia sebenarnya
juga layak untuk menjadi yang di depan dalam kepemimpinan.
Willy mengatakan, buku ini bukan lagi berbicara tentang
ideologi seperti buku keduanya ‘Indonesia di Jalan Restorasi. Di sini
Willy mengajak para pembaca untuk bisa memahami tindak-tanduk yang
mewakili sebuah virtue (kebajikan) yang selama ini sudah Surya Paloh
lakukan.
Surya Paloh dianggap sebagai orang yang tidak kalap karena
jabatan. Jika pun benar, menurut pria asli Padang ini, mungkin Surya
Paloh sudah menjadi seorang menteri sejak Orde Baru.
Namun demikian, langkah itu tidak dilakukan Surya Paloh.
Bukan hanya di era Orde Baru, faktanya Surya Paloh bahkan menjawab
tidak, pada pinangan Jokowi dan Megawati Soekarno Putri ketika Pemilu
2014.
Buku ini pulalah yang coba dibedah oleh Liga Mahasiswa
NasDem (LMN) Lampung. Menurut Ketua LMN Lampung, Fery Yansyah, kunjungan
Wasekjend Partai NasDem, Willy Aditya sekaligus penulis buku Moralitas
Republikan menjadi momentum yang tepat untuk melakukan bedah buku
tersebut.
(Red/KN)